“SELAYANG PANDANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA »
Berisi penjelasan singkat mengenai perkembangan kelembagaan Majelis permusyawaratan Rakyat dan mekanisme kerjanya. Dimaksudkan agar masyarakat umum mengetahui serta memahami kedudukan, fungsi, peranan, serta mekanisme kerja Majelis permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga negara, pemegang dan pelaksana kedaulatan rakyat.
Pada bagian awal diutarakan sejarah singkat Komite Nasional Indonesia Pusat yang dibentuk berdasarkan Pasal IV Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945. Komite Nasional Indonesia Pusatdapat dikatakan sebagai embrio dari Majelis permusyawaratan Rakyat , terutama setelah diterbitkannya maklumat Wakil Presiden Nomor X ( dibaca : eks ) tanggal 16 Oktober 1945 yang memberikan kewenangan kepada Komite Nasional Indonesia Pusat untuk ikut menetapkan garis-garis besar haluan negara.
Di bagian lain dipaparkan perkembangan kelembagaan Majelis permusyawaratan Rakyat, diawali dengan terbitnya dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang diantaranya memrintahkan pembentukan Majelis permusyawaratan Rakyat Sementara, sampai kepada Majelis permusyawaratan Rakyat hasil Pemilihan Umum 1999 di era reformasi.
Perkembangan suatu lembaga ketatanegaraan tidak dapat dipisahkan dari alur sejarah kehidupan ketatanegaraan itu sendiri. Demikian pula perkembangan suatu lembaga politik jelas tidak dapat dipisahkan dari sejarah perkembangan politik yang bersangkutan. Sehubungan dengan itu, perkembangan Majelis permusyawaratan Rakyat baik sebagai lembaga ketatanegaraan Republik Indonesia maupun sebagai lembaga demokrasi tidak terpisah dari alur sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia, serta tidak terpisah dari tumbuh berkembangnya demokrasi di tanah air kita.
Perjalanan sejarah menunjukkan, kehidupan ketatanegaraan dan demokasi di Indonesia ditinjau dari sistem penyelenggaraan Pemertintahan Negara serta sistem demokrasi yang dianut telah melampaui beberapa periode. Pada setiap periode terdapat ciri-ciri tersendiri dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan negara serta pelaksanaan demokrasi, yang kesemuanya mempengaruhi kedudukan, peran, dan fungsi Majelis permusyawaratan Rakyat.
PERKEMBANGAN KELEMBAGAAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT
I. KOMITE NASIONAL INDONESIA PUSAT (1945-1949)
Sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia telah menentukan sikap untuk menentukan nasib sendiri bangsa dan tanah air Indonesia dalam segala aspek kehidupan.
Ini berarti, sejak tanggal 17 Agustus 1945 telah berdiri negara baru, yaitu Negara Republik Indonesia, dan bersamaan dengan itu mulai disusun tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan, yaitu pada tanggal 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia menetapkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Mulai saat itu penyelenggaraan negara didasarkan pada ketentuan-ketentuan menurut UUD 1945. Namun, mengingat masih dalam masa peralihan, pelaksanaan sistem pemerintahan negara dan kelembagaan negara yang ditentukan UUD 1945 belum dapat dilakukan.
Menyadari hal ini, pembentuk Undang-Undang Dasar telah menyediakan ketentuan-ketentuan Peralihan di dalam UUD 1945, yang terdiri dari 4 Pasal Aturan Peralihan.
Pasal IV Aturan Peralihan menyebutkan, “Sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Pertimbangan Agung dibentuk menurut Undang-Undang Dasar ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah Komite Nasional”.
Untuk melaksanakan ketentuan Pasal IV Aturan Peralihan, pada tanggal 29 Agustus 1945 dibentuk Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang merupakan Badan Pembantu Presiden, yang keanggotaannya terdiri dari pemuka-pemuka masyarakat dari berbagai golongan dan daerah-daerah termasuk mantan Anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.
Sidang pertama Komite Nasional Indonesia Pusat menghasilkan Susunan Pimpinan Komite Nasional Indonesia Pusat sebagai berikut :
Ketua : Mr. Kasman Singodimedjo§ Wakil Ketua : Mr. Sutardjo§ Kartohadikusuma Wakil Ketua : Mr. J. Latuharhary§ Wakil Ketua : Adam§ Malik
Atas usul KNIP, pada tanggal 16 Oktober 1945 diterbitkan Maklumat Wakil Presiden Nomor X (dibaca : eks) yang dalam diktumnya berbunyi :
“Bahwa Komite Nasional Indonesia Pusat, sebelum terbentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat diserahi kekuasaan legislative dan ikut menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara, serta pekerjaan Komite Nasional Indonesia Pusat sehari-hari berhubung dengan gentingnya keadaan dijalankan oleh sebuah Badan Pekerja yang dipilih diantara mereka dan yang bertanggung jawab kepada Komite Nasional Indonesia Pusat”.
Sejak diterbitkannya Maklumat Wakil Presiden tersebut, terjadi perubahan-perubahan yang mendasar atas kedudukan, tugas, dan wewenang KNIP. Sejak saat itu mulailah lembaran baru dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, yakni KNIP diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara.
Dengan demikian, pada awal berlakunya UUD 1945 dimulailah lembaran pertama sejarah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), yakni terbentuknya KNIP sebagai embrio MPR.
II. KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA SERIKAT DAN UNDANG-UNDANG DASAR SEMENTARA (1949-1959)
Pada masa berlakunya Konstitusi Republik Indonesia Serikat (1949-1950) dan Undang-Undang Dasar Sementara (1950-1959), lembaga MPR tidak dikenal dalam konfigurasi ketatanegaraan Republik Indonesia.
Pada periode ini, Pemilihan Umum pertama di Indonesia dilaksanakan, tanggal 29 September 1955 untuk memilih Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, dan tanggal 15 Desember 1955 untuk memilih Anggota Konstituante yang diserahi tugas membuat Undang-Undang Dasar.
Segera setelah Konstituante diresmikan, bersidanglah para anggotanya untuk merumuskan suatu Undang-Undang Dasar. Namun sejarah mencatat, Konstituante yang semula diharapkan dapat menetapkan Undang-Undang Dasar ternyata menemui jalan buntu. Di tengah perdebatan yang tak berujung pangkal, pada tanggal 22 April 1959 Pemerintah menganjurkan untuk kembali ke UUD 1945, tetapi anjuran ini pun tidak mencapai kesepakatan diantara Anggota Konstituante.
Dalam suasana yang tidak menguntungkan itu, tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang berisikan pembubaran Konstituante; berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUD Sementara 1950; serta pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS).
III. MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT SEMENTARA
Untuk melaksanakan Pembentukan MPRS sebagaimana diperintahkan oleh Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Presiden mengeluarkan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1959 yang mengatur Pembentukan MPRS sebagai berikut :
1. MPRS terdiri atas Anggota DPR Gotong Royong ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan.
2. Jumlah Anggota MPR ditetapkan oleh Presiden.
3. Yang dimaksud dengan daerah dan golongan-golongan ialah Daerah Swatantra Tingkat I dan Golongan Karya.
4. Anggota tambahan MPRS diangkat oleh Presiden dan mengangkat sumpah menurut agamanya di hadapan Presiden atau Ketua MPRS yang dikuasakan oleh Presiden.
5. MPRS mempunyai seorang Ketua dan beberapa Wakil Ketua yang diangkat oleh Presiden.
Jumlah anggota MPRS pada waktu dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 199 Tahun 1960 berjumlah 616 orang yang terdiri dari 257 Anggota DPR-GR, 241 Utusan Golongan Karya, dan 118 Utusan Daerah.
Susunan Pimpinan MPRS (1960-1965) adalah sebagai berikut :
Ketua : Chairul Saleh§ Wakil Ketua : Mr. Ali§ Sastroamidjojo Wakil Ketua : K.H. Idham Chalid§ Wakil Ketua : D.N.§ Aidit Wakil Ketua : Kol. Wilujo Puspojudo§
A. SIDANG UMUM I MPRS (1960)
Sidang Umum Pertama MPRS dilaksanakan di Bandung, berlangsung dari tanggal 10 November sampai dengan 7 Desember 1960.
Pada Sidang Umum Pertama MPRS ini menghasilkan 2 (dua) Ketetapan MPRS, yaitu:
1. Ketetapan MPRS Nomor I/MPRS/1960 tentang Manifesto Politik Republik Indonesia sebagai Garis-garis Besar daripada Haluan Negara;
2. Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960 tentang Garis-garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahapan Pertama 1961-1969.
B. SIDANG UMUM II MPRS (1963)
Sidang Umum Kedua MPRS yang dilaksanakan tiga tahun setelah Sidang Umum Pertama MPRS berlangsung di Bandung dari tanggal 15 sampai dengan 22 Mei 1963.
Sidang Umum Kedua ini menghasilkan 2 (dua) Ketetapan, yaitu:
1. Ketetapan MPRS Nomor III/MPRS/1963 tentang Pengangkatan Pemimpin Besar Revolusi Indonesia Bung Karno menjadi Presiden Republik Indonesia Seumur Hidup;
2. Ketetapan MPRS Nomor IV/MPRS/1963 tentang Pedoman-pedoman Pelaksanaan Garis-garis Besar Haluan Negara dan Haluan Pembangunan.
C. SIDANG UMUM III MPRS (1965)
Pada tahun 1965 berlangsung Sidang Umum Ketiga MPRS di Bandung dari tanggal 11 sampai dengan 16 April 1965. Sidang Umum Ketiga MPRS menghasilkan 4 (empat) Ketetapan, yaitu:
1. Ketetapan MPRS Nomor V/MPRS/1965 tentang Amanat Politik Presiden/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS yang berjudul Berdiri di atas Kaki Sendiri yang lebih dikenal dengan “Berdikari” sebagai Penugasan Revolusi Indonesia dalam Bidang Politik, Pedoman Pelaksanaan Manipol dan Landasan Program Perjuangan Rakyat Indonesia;
2. Ketetapan MPRS Nomor VI/MPRS/1965 tentang Banting Stir untuk Berdiri di atas Kaki Sendiri di Bidang Ekonomi dan Pembangunan;
3. Ketetapan MPRS Nomor VII/MPRS/1965 tentang “Gesuri”, “TAVIP” (Tahun Vivere Pericoloso), “The Fifth Freedom is Our Weapon” dan “The Era of Confrontation” sebagai Pedoman-pedoman pelaksanakan Manifesto Politik Republik Indonesia;
4. Ketetapan MPRS Nomor VIII/MPRS/1965 tentang Prinsp-prinsip Musyawarah untuk Mufakat dalam Demokrasi Terpimpin sebagai Pedoman bagi Lembaga-lembaga Permusyawaratan/Perwakilan.
IV. MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT SEMENTARA (1966 – 1972)
Periode 1959-1965 adalah periode yang penuh pertentangan ideologi dalam sejarah kehidupan ketatanegaraan di Indonesia dan mencapai puncaknya pada tanggal 30 September 1965 yang ditandai dengan peristiwa pemberontakan G-30-S/PKI. Sebagai akibat logis dari peristiwa pengkhianatan G-30-S/PKI, mutlak diperlukan adanya koreksi total atas seluruh kebijaksanaan yang telah diambil sebelumnya dalam kehidupan kenegaraan. Lembaga MPRS yang pembentukannya didasarkan pada Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan selanjutnya diatur dengan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1959, setelah terjadi pemberontakan G-30-S/PKI, Penetapan Presiden tersebut dipandang tidak memadai lagi.
Untuk memenuhi kebutuhan tersebut maka diadakan langkah pemurnian keanggotaan MPRS dari unsur PKI, dan ditegaskan dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1966 bahwa sebelum terbentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dipilih oleh rakyat, maka MPRS menjalankan tugas dan wewenangnya sesuai dengan UUD 1945 sampai MPR hasil Pemilihan Umum terbentuk.
Susunan Pimpinan MPRS 1966-1972 adalah sebagai berikut:
Ketua : Dr. A.H. Nasution§ Wakil Ketua : Osa§ Maliki Wakil Ketua : H.M. Subchan Z.E.§ Wakil Ketua : M.§ Siregar Wakil Ketua : Mashudi§
A. SIDANG UMUM IV MPRS (1966)
Sidang umum Keempat MPRS berlangsung di Istora Senayan Jakarta pada tanggal 21 Juni sampai dengan 5 Juli 1966.
Pada Sidang Umum Keempat ini, MPRS menghasilkan 24 (dua puluh empat) Ketetapan, yaitu:
1. Ketetapan MPRS Nomor IX/MPRS/1966 tentang Surat Perintah Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/Pemimpin Besar Revolusi /Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia;
2. Ketetapan MPRS Nomor X/MPRS/1966 tentang kedudukan Semua Lembaga-lembaga Negara Tingkat Pusat dan Daerah pada Posisi dan Fungsi Yang di Atur dalam Undang-undang Dasar 1945;
3. Ketetapan MPRS Nomor XI/MPRS/1966 tentang Pemilihan Umum;
4. Ketetapan MPRS Nomor XII/MPRS/1966 tentang Penegasan Kembali Landasan Kebijaksanaan Politik Luar Negeri Republik Indoenesia;
5. Ketetapan MPR Nomor XIII/MPRS/1966 Tentang Kabinet Ampera;
6. Ketetapan MPRS Nomor XIV/MPRS/1966 tentang Pembentukan Panitia-panitia Ad Hoc MPRS yang bertugas melakukan penelitian Lembaga-lembaga Negara, Penyusunan Bagan Pembagian Kekuasaan di antara Lembaga-lembaga Negara menurut Sistem Undang-Undang Dasar 1945 dan Penyusunan Perincian Hak-hak Asasi Manusia;
7. Ketetapan MPRS Nomor XV/MPRS/1966 tentang pemilihan/ Penunjukan Wakil Presiden dan Tata Cara Pengangkatan Pejabat Presiden;
8. Ketetapan MPRS Nomor XVI/MPRS/1966 tentang pengertian Mandataris MPRS;
9. Ketetapan MPRS Nomor XVII/MPRS/1966 tentang Pemimpin Besar Revolusi;
10. Ketetapan MPRS Nomor XVIII/MPRS/1966 tetang Peninjauan Kembali Ketetapan MPRS Nomor III/MPRS/1963
11. Ketetapan MPRS Nomor XIX/MPRS/1966 Tentang Peninjauan Kembali Produk-produk Legislatif Negara di Luar Produk MPRS yang tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945;
12. Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peratutan Perundangan Republik Indonesia;
13. Ketetapan MPRS Nomor XXI/MPRS/1966 tentang Pemberian Otonomi Seluas-luasnya Kepala Daerah;
14. Ketetapan MPRS Nomor XXII/MPRS/1966 tentang Kepartaian, Keormasan dan Kekaryaan.
15. Ketetapan MPRS Nomor XXIII/MPRS/1966 Tentang Pembaharuan Kebijaksanaan Landasan Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan;
16. Ketetapan MPRS Nomor XXIV/MPRS/1966 tentang Kebijakan dalam Bidang Pertahanan Keamanan;
17. Ketetapan MPRS Nomor XXIV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi terlarang di seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunis/Marxisme Leninisme;
18. Ketetapan MPRS Nomor XXVI/MPRS/1966 tentang Pembentukan Panitia Peneliti Ajaran-ajaran Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno;
19. ketetapan MPRS Nomor XXVII/MPRS/1966 Tentang Agama, Pendidikan dan Kebudayaan;
20. Ketetapan MPRS Nomor XXVIII/MPRS/1966 tentang Kebijaksanaan Peningkatan Kesejahteraan Rakyat;
21. Ketetapan MPRS Nomor XXIV/MPRS/1966 Tentang Pengangkatan Pahlawan Ampera;
22. Ketetapan MPRS Nomor XXX/MPRS/1966 tentang Pencabutan Bintang “Maha Putera” Kelas III dari D.N. Aidit;
23. Ketetapan MPRS Nomor XXXI/MPRS/1966 tentang Penggantian Sebutan “Paduka Yang Mulia” (P.Y.M) dengan sebutan “Bapak/Ibu” atau “Saudara/Saudari”;
24. Ketetapan MPRS Nomor XXXII/MPRS/1966 tentang Pembinaan Pers.
B. SIDANG ISTIMEWA MPRS (1967)
Pada Saat Presiden RI/Mandataris MPRS IR. Soekarno menyampaikan pidato pertangungjawaban di depan Sidang Umum keempat MPRS Tahun 1966, rakyat yang merasa telah dikhianati oleh peristiwa pemberontakan G-30-S/PKI mengharapkan kejelasan pertangungjawaban Presiden Soekarno mengenai pemberontakan G-30-S/PKI berikut epilognya serta kemunduran ekonomi dan akhlak. Tetapi, pidato pertanggungjawaban Presiden Soerkarno yang diberi judul ”Nawaksara” ternyata tidak memuaskan MPRS sebagai pemberi mandat. Ketidakpuasan MPRS diwujudkan dalam Keputusan MPRS Nomor 5 Tahun 1966 yang meminta Presiden Soekarno melengkapi pidato pertanggungjawabannya.
Walaupun kemudian Presiden Seokarno memenuhi permintaan MPRS dalam suratnya tertangal 10 januari 1967 yang diberi nama “Pelengkap Nawaksara”, tetapi ternyata tidak juga memenuhi harapan rakyat. Setalah membahas surat Presiden tersebut, Pimpinan MPRS berkesimpulan bahwa Presiden Soekarno telah alpa dalam memenuhi kewajiban Konstitusional.
Sementara itu DPR-GR dalam Resolusi dan Memorandumnya tertanggal 9 Februari 1967 dalam menilai “Nawaksara” beserta pelengkapnya berpendapat bahwa “Kepemimpinan Presiden Soekarno secara konstitusional, politis/ideologis membahayakan keselamatan bangsa, negara, dan Pancasila”.
Dalam kaitan itu, DPR-GR meminta kepada MPRS mengadakan Sidang Istimewa untuk memberhentikan Presiden Soekarno dari jabatan Presiden/Mandataris MPRS dan memilih/mengangkat Letnan Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden/Mandataris sesuai Pasal 3 Ketetapan MPRS Nomor IX/MPRS/1966, serta memerintahkan Badan Kehakiman yang berwenang untuk mengadakan pengamatan, pemeriksaan, dan penuntutan secara hukum.
Berdasarkan permintaan dari DPR-GR, MPRS menyelenggarakan Sidang Istimewa MPRS di Istora Senayan pada tanggal 7 sampai dengan 12 maret 1967.
Pada Sidang Istemewa ini MPRS menghasilkan 4(empat) ketetapan, yaitu :
1. Ketetapan MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno;
2. Ketetapan MPRS Nomor XXXIV/MPRS/1967 tentang peninjauan kembali Ketetapaan MPRS Nomor I/MPRS/1960 tentang Manifesto Politik Republik Indonesia sebagai Garis-garis Besar Haluan Negara;
3. Ketetapan MPRS Nomor XXXV/MPRS/1967 tentang Pancabutan Ketetapan MPRS Nomor XVII/1966;
4. Ketetapan MPRS Nomor XXVI/MPRS/1967 tentang Pencabutan Ketetapan MPRS Nomor XXVI/MPRS/1966.
V. MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT
A. MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT (1972-1977)
Terbentuknya MPR Periode 1972-1977 merupakan peristiwa penting dalam perjalanan sejarah MPR Karena dibentuk berdasarkan hasil pemilihan umum 1971.
Susunan dan Kedudukan MPR diatur dengan Undang-Undang No. 16 Tahun 1969. Jumlah Anggota MPR berdasarkan undang-undang tersebut adalah sebanyak 920 orang, dengan komposisi sebagau berikut :
Fraksi ABRI : 230 Orang§ Fraksi Karya Pembangunan : 392§ Orang Fraksi Partai Demokrasi Indonesia : 42 Orang§ Fraksi Persatuan§ Pembangunan : 126 Orang Fraksi Utusan Daerah : 130 Orang§
Komposisi Pimpinan MPR pada periode 1972-1977 adalah sebagai berikut :
Ketua : Dr. K.H. Idham Chalid§ Wakil Ketua : Drs.§ Sumiskum Wakil Ketua : J.Naro, S.H.§ Wakil ketua : R. Ng. Dono§ Pranoto Wakil Ketua : R. Kartidjo§ Wakil Ketua : Mh. Isnaeni§
MPR periode 1972-1977 menyelenggarakan Sidang Umum pada tanggal 12-24 Maret 1973, dengan menghasilkan 11(sebelas) Ketetapan, :
1. Ketetapan MPR RI Nomor I/MPR/1973 tentang Peraturan Tata Tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat;
2. Ketetapan MPR RI Nomor II/MPR/1973 tentang Tata-cara Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia;
3. Ketetapan MPR RI Nomor III/MPR/1973 tentang Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Jenderal TNI. Soeharto selaku Mandataris Majelis Permusyawara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar